Bulan Ramadan tidak hanya menjadi momen refleksi spiritual, tetapi juga periode kritis untuk memperkuat kolaborasi di sektor kesehatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa 45% fasilitas kesehatan primer di daerah tertinggal Indonesia masih kekurangan tenaga medis dan alat penunjang dasar. Sementara itu, laporan Kementerian Kesehatan RI (2023) mengungkapkan bahwa prevalensi penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan hipertensi meningkat 12% dalam lima tahun terakhir, dengan hanya 30% pasien di pedesaan yang memiliki akses ke layanan pencegahan berbasis komunitas.
Primer Koperasi IDI, sebagai bagian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berupaya menjawab tantangan ini melalui pendekatan kewirausahaan sosial. Langkah ini sejalan dengan tren global yang diidentifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan Global Strategy on Human Resources for Health (2023), di mana kolaborasi antar-pemangku kepentingan disebut sebagai kunci mengurangi kesenjangan layanan kesehatan di negara berpenghasilan rendah-menengah. Di Indonesia, riset Katadata Insight Center (2023) menyebutkan bahwa 28% dokter umum di perkotaan telah mengembangkan usaha sampingan seperti klinik swasta atau apotek, namun hanya 8% yang berhasil menjangkau daerah pedesaan akibat kendala infrastruktur dan pendanaan.
Fenomena ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan cakupan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang mencapai 92,6 juta penerima pada 2023 (data BPJS Kesehatan). Meski cakupan luas, evaluasi Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI (2023) menemukan bahwa 40% penerima KIS di daerah tertinggal masih kesulitan mengakses layanan spesialis akibat jarak geografis dan kurangnya fasilitas rujukan. Di sisi lain, Bank Dunia dalam kajian Indonesia’s Health Sector Challenges (2023) menekankan bahwa penguatan jejaring dokter wirausaha dapat meningkatkan efisiensi sistem kesehatan melalui deteksi dini penyakit, terutama di daerah dengan rasio dokter-terhadap-penduduk di bawah 1:10.000.
Momentum Ramadan telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memperkuat aksi kolektif. Contoh nyata adalah inisiatif pengadaan alat kesehatan dasar untuk 150 puskesmas di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijalankan oleh Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN) pada 2023. Namun, laporan Kompas (Maret 2024) menyoroti bahwa 60% program kesehatan berbasis komunitas di Indonesia gagal berkelanjutan karena ketergantungan pada pendanaan filantropi jangka pendek. Hal ini diperkuat oleh studi SMERU Research Institute (2023) yang menemukan bahwa hanya 25% klinik komunitas yang mampu bertahan lebih dari tiga tahun tanpa dukungan manajemen profesional.
Di tingkat global, kolaborasi serupa menunjukkan hasil signifikan. Doctors Without Borders (MSF), misalnya, melaporkan dalam Global Activity Report 2023 bahwa kemitraan dengan perusahaan teknologi seperti Zipline memungkinkan distribusi logistik medis ke 1.200 desa terpencil di Rwanda dan Ghana. Sementara di Asia Tenggara, Vietnam Medical Association berhasil mengintegrasikan 500 klinik swasta ke dalam sistem telemedisin nasional melalui kerja sama dengan platform VNVC. Di Indonesia, meski platform seperti Halodoc melaporkan 25 juta pengguna aktif pada 2023 (data DailySocial), pemanfaatan teknologi digital oleh dokter wirausaha di pedesaan masih terbatas pada 15% akibat kesenjangan literasi dan jaringan internet.
Analisis ini menyimpulkan dua rekomendasi kebijakan berbasis bukti. Pertama, integrasi program kewirausahaan dokter ke dalam agenda nasional, seperti perluasan Program Nusantara Sehat Kemenkes dengan pendekatan public-private partnership untuk pendanaan berkelanjutan. Kedua, optimalisasi momentum kultural seperti Ramadan melalui pelatihan manajemen berbasis komunitas, mengadopsi model Social Franchise yang sukses diterapkan oleh Philippine Medical Association untuk replikasi klinik standar di daerah terisolasi.
Tanpa intervensi struktural yang menyasar akar masalah—seperti disparitas infrastruktur dan kapasitas manajemen—inisiatif kolaborasi berisiko menjadi aksi seremonial belaka, bukan solusi transformatif bagi sistem kesehatan Indonesia.
Ramadan 1446 H mengajarkan bahwa puasa bukan hanya menahan lapar, tetapi juga membangun empati. Di tengah disparitas layanan kesehatan yang masih membelit Indonesia, kolaborasi dokter melalui Primer Koperasi IDI adalah bentuk konkret fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan).
Mari jadikan setiap tarawih dan tadarus sebagai pengingat: kesehatan yang adil adalah hak semua manusia. Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga langkah kita hari ini menjadi jalan bagi terwujudnya sistem kesehatan yang lebih bermartabat.
#RamadanBerkolaborasi #KesehatanAdalahIbadah